MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

BAB II
KONSEP DASAR
MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

A.    Pentingnya Manajemen Sekolah Dasar
Sekolah dasar tidak ubahnya sebagai sebuah institusi atau lembaga. Sebagai sebuah institusi atau lembaga, sekolah mengemban misi tertentu yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses transformasi anak didik, dalam rangka mengantarkan mereka siap mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Oleh karena demikian misinya, maka sekolah dasar dapat dikategorikan sebagai institusi atau lembaga pendidikan.  Sebagai institusi atau lembaga pendidikan, sekolah dasar menyelenggarakan berbagai aktivitas pendidikan bagi anak didik dan melibatkan banyak komponen, sehingga aktivitas maupun komponen pendidikan di sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang baik dalam rangka mencapai tujuan institusional sekolah dasar.
Secara garis besar aktivitas pendidikan di sekolah dasar, baik negeri maupun swasta dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, aktivitas pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN), pembelajaran Pendidikan Agama (PA), pembelajaran Bahasa Indonesia (BI), pembelajaran Matematika (Mat), pembelajaran Ilmu   Pengetahuan Alam (IPA), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS); pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes), pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), pembelajaran Muatan Lokal (Mulok). Kedua, aktivitas pembelajaran ekstrakurikuler, seperti kegiatan pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), olah raga, kesenian, dan patroli keamanan sekolah (PKS). Ketiga aktivitas pembelajaran lainnya dalam bentuk upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap hari senin dan senam pagi. Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut memiliki tujuan kurikuler. Namun semua aktivitas pembelajaran harus dipadukan sedemikian rupa dan diarahkan kepada pencapaian satu tujuan, tepatnya tujuan institusional sekolah dasar. Demikian pula, agar antara aktivitas pembelajaran satu dan lainnya tidak tumpang tindih, dan fasilitas sekolah dapat didayagunakan secara optimal maka sekolah dasar menuntut adanya manajemen yang baik. Di sinilah letak pentingnya manajemen yang baik di sekolah. Tampaknya, tidak ada kesuksesan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar tanpa adanya manajemen yang baik di dalamnya.
Sementara dalam pelaksanaan semua aktivitas pembelajaran di atas  dilibatkan banyak komponen, tidak saja komponen manusia melainkan juga komponen bukan manusia. Komponen manusia di sekolah dasar cukup banyak. Dalam kondisi normal komponen manusia sekolah dasar terdiri dari seorang kepala sekolah, enam orang guru kelas, seorang guru mata pelajaran Pendidikan Agama, seorang guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan seorang pesuruh sekolah. Jadi secara keseluruhan terdapat sepuluh personil sekolah dasar. Sedangkan komponen bukan manusia di sekolah dasar terdiri dari enam ruang kelas, satu ruang kepala sekolah yang juga difungsikan sebagai ruang administrasi, buku teks, buku penunjang, buku bacaan, berbagai alat peraga, dan uang. Agar dapat didayagunakan secara optimal dalam mencapai tujuan institusional sekolah dasar, semua komponen tersebut dikelola dengan sebaik-baiknya. Semakin banyak personil dan fasilitas yang didayagunakan semakin menuntut adanya manajemen sekolah dasar yang baik.

B.    Pengertian Manajemen Sekolah Dasar
Banyak pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manajemen itu merupakan kajian administrasi ditinjau dari sudut prosesnya. Para pakar administrasi pendidikan, seperti Sergiovanni, Burlingame, Coombs, dan Thurston (1987) mendefinisikan manajemen sebagai process of working with and through others to accomplish organizational goals efficienctly, yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Manajemen itu merupakan proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi) secara efisien. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Gorton (1976) yang menegaskan bahwa manajemen merupakan metode yang digunakan administrator untuk melakukan tugas-tugas tertentu atau mencapai tujuan tertentu.
Manajemen sekolah dasar pada dasarnya merupakan penerapan manajemen sekolah di sekolah dasar. Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas manajemen sekolah dasar merupakan proses di mana kepala sekolah dasar selaku administrator bersama atau melalui  orang lain berupaya mencapai tujuan institusional sekolah dasar secara efisien. Apabila definisi tersebut dikaji secara saksama, ada beberapa makna tersirat berkenaan dengan konsep manajemen sekolah dasar.
1.     Manajemen sekolah dasar merupakan proses, dalam arti serangkaian kegiatan yang diupayakan kepala sekolah bagi kepentingan sekolahnya.
2.     Rangkaian kegiatan yang diupayakan oleh kepala sekolah bersama orang lain dan atau melalui orang lain misalnya guru, dan mendayagunakan semua fasilitas yang ada. Jadi kepala sekolah tidak bekerja sendiri. Bahkan, yang baik adalah kepala sekolah selalu berusaha untuk menugaskan orang lain dalam menye-lesaikan tugas-tugas di sekolahnya. Bukan  kepala sekolah yang baik apabila segala sesuatu di sekolahnya dikerjakan sendiri. Dengan kata lain, pada hakikatnya manajemen sekolah dasar merupakan segala proses pendayagunaan semua komponen, baik komponen manusia maupun komponen bukan manusia yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien.
3.     Tujuan manajemen sekolah dasar adalah mencapai tujuan institusional sekolah dasar, yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota ummat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Dengan manajemen sekolah dasar yang baik diharapkan sekolah dasar menjadi lembaga pendidikan yang baik dalam segala aspek.

C.    Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik
Secara umum, tujuan manajemen sekolah dasar adalah mewujudkan sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan yang baik, yaitu efektif dan efisien. Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti  umum bermakna hemat.  Jadi  ada  dua tujuan pokok dengan diterapkannya manajemen dalam suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi, atau lembaga. Pertama, tujuan  manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas.  Suatu program kerja dikatakan efektif apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan diterapkannya manajemen pada sebuah program adalah agar program tersebut dapat mencapai tujuan. Kedua, manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan  antara pelaksanaan satu program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai.
Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut dapat dilihat dari  dua segi, yaitu segi pelaksanaan program dan segi hasil. Apabila ditinjau  dari  segi pelaksanaannya,  sebuah program  dapat dikatakan  efisien apabila hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya dan sehemat-hematnya. Upaya yang dimaksudkan  di sini adalah penggunaan komponen, seperti tenaga, waktu pelaksanaan, sarana   prasarana, dan keuangan. Ditinjau  dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah program dapat dikatakan efisien apabila dengan  usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.  Sekali lagi dijelaskan bahwa yang dimaksudkan  upaya di sini adalah penggunaan komponen, seperti: tenaga, waktu pelaksanaan, sarana   prasarana, dan keuangan. Jadi apabila dengan tenaga, waktu, sarana, uang yang cukup dapat menghasilkan suatu produk yang banyak, maka itulah yang disebut dengan efisien. Jika sebaliknya, dengan tenaga, waktu, sarana, dan uang yang cukup menghasilkan produk yang sedikit, maka itulah yang disebut dengan tidak efisien atau inefisiensi.
Perihal sekolah yang baik, ada juga pakar yang mengatakan bahwa manajemen sekolah dilakukan dalam rangka mewujudkan sekolah dasar yang bermutu. Sekolah dasar dapat dikatakan bermutu baik apabila mampu mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya.
Sepanjang perkembangan teori manajemen pendidikan ada dua model teoritik sebagai pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Ferguson (1985), yaitu model tujuan dan model sistem. Pertama adalah model tujuan, atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian-tujuan. Model tersebut berdasarkan pada pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Dalam pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila ia mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya melalui cara melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai dari organisasi (Daft & Steers, 1986).
Sekolah pada dasarnya juga merupakan sebuah organisasi. Dengan demikian, sekolah dapat dikatakan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya tingkat pencapaian ditandai dengan prestasi lulusan sekolah dalam bidang ketrampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar (Frymier, dkk., 1984; Sergiovanni, 1984). Dengan demikian, apabila digunakan pendekatan tujuan, maka prestasi siswa memainkan peranan penting dalam menetapkan baik tidaknya sebuah sekolah. Banyak sekali penelitian tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan pendekatan atau model tujuan tersebut, yang menyandarkan penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya (Frymier, dkk., 1984; Hoy & Ferguson, 1985; Sergiovanni, 1987). Penelitian terkenal yang dilakukan oleh Edmons (1979), begitu pula oleh Brookover dan Lezotte (1979) tentang keefektifan sekolah dasar merupakan dua contoh di antaranya. Mereka (para penganjurnya) memiliki asumsi bahwa sekolah memang memiliki banyak tujuan. Namun berapapun banyaknya, menurut mereka sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orang tua, dan masyarakat lainnya, selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dasar. Sementara satu lagi bagi popularitas model atau pendekatan tujuan ini adalah kemudahan peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi  (Sergiovanni, 1987). Namun penyandaran penetapan keefektifan suatu sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar, telah banyak dikecam. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, prestasi akademik siswa. Kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang logis dan dianggap penting, namun keberlangsungannya sangat terancam, sebab dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi: memiliki tujuan, tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala sekolah, supervisor, dan guru; dan mereka sendiri harus mampu mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah.
Model kedua adalah model sistem, atau disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multi-dimensional. Model tersebut berdasarkan pada konsep sistem terbuka, biasa digunakan khususnya oleh para analis yang memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Dalam perspektif model sistem keefektifan organisasi dilihat dari bukan tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam perspektif model tujuan di muka, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya. Ada dua asumsi yang mendasarinya. Pertama, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah. Dalam pada itu ada dua karakteristik sekolah sebagaimana dikemukakan oleh Owens (1987). Pertama, karakteristik internal sekolah, yang meliputi, antara lain: gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal merupakan karakteristik situasi didalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian itu mencakup karakteristik masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya.
Model sistem sebagai suatu perspektif dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh peneliti administrasi pendidikan (Sergiovanni & Starratt, 1983). Asumsi mereka adalah bahwa ada hubungan antara karakteristik sekolah dengan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan demikian. Austin (1979) misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan kepala sekolahnya terlibat dalam pemrograman pengajaran cenderung memiliki siswa dengan  prestasi lebih tinggi   dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut. Sementara Rutter (1979) pada akhir penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah adalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa. Oleh karena itu mereka (para peneliti administrasi pendidikan) menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa mempengaruhi kualitas keluaran siswa, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa.
Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti administrasi pendidikan, namun model sistem tersebut diduga keras memiliki beberapa kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy & Miskel, 1982). Pertama, dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka masalah keluarannya cenderung terabaikan.
Sejarah perkembangan teori administrasi pendidikan menunjukkan bahwa pada tahun 1960-an begitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat, seperti iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktek pembuatan keputusan, dan strategi pemecahan konflik, sehingga dengan tidak disadari topik-topik tentang belajar siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni, 1987). Kedua, karena memperhatikan peningkatan masukan merupakan tujuan operatif bagi organisasi, berarti model sistem itu pada dasarnya merupakan model tujuan.
Di atas telah dipaparkan dua model teoretik dalam menetapkan sekolah yang baik atau efektif. Kedua model teoretik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih memperhatikan karakteristik proses dan kondisi seperti konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah.
Walaupun begitu keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain, sehingga mungkin dan perlu dikombinasikan yang dapat menghasilkan satu konsep tentang sekolah yang baik. Sergiovanni (1987) pun menganjurkan agar para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih salah satu di antaranya melainkan keduanya. Lebih lanjut menurut Sergiovanni, apabila pendekatan tujuan dikombinasikan dengan pendekatan sistem, maka siapapun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh Parsons (1960) dan kedua dikembangkan oleh Postman dan Weingartner (1979).
Parsons (1960) telah mengembangkan sebuah model keefektifan organisasi yang mengkombinasikan kedua model atau pendekatan tujuan dan sistem di atas. Model Parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu: (1) adaptasi; (2) pencapaian tujuan; (3) integrasi; dan (4) latensi. Asumsi dasarnya adalah bahwa semua sistem sosial, apabila ingin hidup dan berkembang, harus mampu memecahkan empat masalah, yaitu masalah-masalah pengakomodasian lingkungan, penetapan dan pencapaian tujuan, pemeliharaan solidaritas antar komponen sistem, dan penciptaan serta pemeliharaan sistem motivasional  dan pola-pola nilai. Menurut Parsons, apabila organisasi mampu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya keempat masalah tersebut, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif atau baik.
Berdasarkan kerangka berfikir Parsons di atas Hoy dan Miskel (1987) mengajukan empat dimensi keefektifan sekolah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Dari dimensi adaptasi, baik-tidaknya sekolah dilihat dalam hubungan dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungannya; dari dimensi pencapaian tujuan, baik tidaknya sekolah diukur dengan dicapainya tujuan pendidikan; dari dimensi integrasi, baik-tidaknya sekolah dikaitkan dengan dipertahankannya solidaritas dan kekohesifan unsur-unsur sistem; dan dari dimensi latensi, baik tidaknya sekolah dinilai pada terciptanya dan dipertahankannya komitmen organisasional sekolah.
Dua orang pakar lainnya yang pernah mengemukakan secara lengkap dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem tentang indikator sekolah yang baik adalah Postman dan Weingartner (1979). Menurut mereka sekolah sebagai institusi memiliki seperangkat fungsi esensial,   yang   harus dimiliki oleh setiap sekolah. Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi: (1) penstrukturan waktu; (2) penstrukturan aktivitas yang harus diikuti siswa; (3) pendefinisian kecerdasan, kemampuan intelektual, prestasi, dan perilaku yang baik; (4) penilaian; (5) pemisahan peran dan tanggung jawab antara guru dan siswa; (6) supervisi dan pengawasan terhadap siswa; dan (7) pertanggung-jawaban. Di samping fungsi-fungsi esensial, menurut Postman & Weingartner, ada juga   konvensi, yaitu prosedur-prosedur yang diikuti sekolah untuk memenuhi ketujuh fungsi esensialnya. Konvensi ini pada dasarnya melayani fungsi-fungsi esensial sehingga fungsi-fungsi esensial tersebut betul-betul membuat sekolah mampu memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Sebagai contoh adalah penstrukturan waktu yang merupakan fungsi esensial pertama. Setiap sekolah memiliki waktu kapan sekolah mulai dan berakhir. Sekolah juga memiliki waktu kapan aktivitas-aktivitas tertentu dilaksanakan dan waktunya pasti berbeda antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Tanpa pengaturan waktu kita tidak memiliki sekolah. Sedangkan konvensi adalah cara-cara khusus di sekolah untuk mengatur waktu sepuluh bulan dalam setahun, enam hari dalam seminggu, enam jam dalam sehari, dan empat puluh menit dalam satu jam pelajaran.
Lebih lanjut, menurut Postman dan Weingartner,  konvensilah yang sebenarnya merupakan obyek perubahan organisasional sekolah. Menurut mereka sebuah sekolah dinilai baik apabila konvensinya secara aktual meningkatkan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Akhirnya berdasarkan semua inilah Postman dan Weingartner mendeskripsikan ciri-ciri sekolah yang baik sebagai berikut.
1.    Ditinjau dari penstrukturan waktunya sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.    sekuensi waktu sehari di sekolah itu tidak sewenang-wenang (45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dan seterusnya), melainkan didasarkan pada apa yang perlu dilakukan siswa;
b.    antara satu orang siswa dan siswa lainnya di sekolah tidak diharuskan mengerjakan hal yang sama dalam jangka  waktu yang sama;
c.    siswa tidak dituntut semata-mata untuk mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan menguasai keterampilan;
d.    siswa diarahkan untuk mengorganisasi waktunya sendiri.
2.    Ditinjau dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.    aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara perorangan;
b.    antara satu orang siswa dan siswa lainnya tidak dituntut untuk mengikuti aktivitas yang sama;
c.    sekolah mengakui bahwa proses belajar mengajar hampir tidak bernilai bagi siswa apabila dirinya kurang dilibatkan di dalamnya;
d.    aktivitasnya merupakan aktivitas siswa;
e.    aktivitasnya tidak terbatas pada sebuah gedung, melainkan juga mencakup semua sumber pada masyarakat;
f.    aktivitas-aktivitasnya memenuhi semua perbedaan latar belakang dan kemampuan siswa.
3.    Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan, atau perilaku, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.    proses belajar mengajar yang dikelolanya lebih menekankan pada proses inkuiri, pemecahan masalah, dan penelitian daripada memorisasi;
b.    siswanya dijauhkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasif;
c.    berbagai keterampilan berkomunikasi dilatihkan kepada siswa;
d.    kepada siswanya selalu ditekankan untuk menggunakan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar memperoleh ilmu demi ilmu;
e.    personilnya mengakui adanya perkembangan pengetahuan di berbagai bidang dan mencoba mempertimbangkannya dalam mendefinisikan pengetahuan;
f.    pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi pengetahuannya.
4.    Ditinjau dari evaluasi, sekolah dapat dikatakan baik apabila dalam proses evaluasinya:
a.    lebih menekankan pada upaya memberikan balikan yang mendorong;
b.    digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan;
c.    mencakup aspek yang komprehensif;
d.    terlebih dahulu dibuatkan seeskplisit mungkin jenis perilaku yang diinginkan sekolah;
e.    kurang digunakan tes terstandar;
f.    khusus dalam mengevaluasi guru dan administrator digunakan prosedur-prosedur yang konstruktif.
5.    Ditinjau dari supervisi dan pengawasan siswa, sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.    guru dan siswanya melakukan upaya-upaya yang kolaboratif;
b.    siswanya diberi kesempatan untuk mensupervisi dirinya sendiri;
c.    jumlah siswa yang ditangani seorang supervisor tidak banyak, sehingga masalah personalnya bisa ditangani.
6.    Ditinjau dari perbedaan peran sekolah dapat dikatakan baik apabila:
a.    semua gurunya selalu mengembangkan ide mengenai masyarakat belajar dimana fungsi guru lebih sebagai seorang koordinator dan fasilitator;
b.    berbagai peran mengajar didalamnya tidak dimainkan hanya oleh guru;
c.    berbagai peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru;
d.    siswanya dianggap bukan sebagai obyek pada setiap aktivitas, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri;
e.    siswa tidak secara konstan ditempatkan dalam peran-peran konpetitif, melainkan juga kolaboratif.
7.    Di tinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a.    lebih menekankan pada partisipasi masyarakat daripada paternalistik birokratik;
b.    tidak takut mempertanggungjawabkan performansinya.
8.    Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masa depan, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya:
a.    memiliki konsep tentang pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diorientasikan pada masa depan;
b.    menginterpretasikan tanggung jawabnya pada masa depan sebagai tanggung jawab kepada siswa, baru kemudian kepada institusi sosial.

D.    Manajemen Sebagai Sebuah Proses
Manajemen pada dasarnya merupakan sebuah proses. Menurut Sergiovanni dan kawan-kawannya (1987) proses manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengerahan (leading), dan pengawasan (controlling). Menurut Gorton, manajemen itu pada hakikatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah manajemen tidak ubahnya sebagaimana langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu:
1.     identifikasi masalah
2.     diagnosis masalah
3.     penetapan tujuan
4.     pembuatan keputusan
5.     perencanaan
6.     pengorganisasian
7.     pengkoordinasian
8.     pendelegasian
9.     penginisian
10.     pengkomunikasian
11.     kerja dengan kelompok-kelompok
12.     penilaian
Sekilas, secara kuantitatif apa yang dikemukakan oleh Sergiovanni dan kawan-kawannya tentang langkah-langkah manajemen berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Gorton. Namun apabila dikaji secara seksama, terutama apabila dikaji hakikat konsepnya, ternyata keduanya sama. Jadi walaupun Sergiovanni dan kawan-kawannya mengedepankan hanya empat langkah manajemen, namun secara konseptual keempat langkah manajemen perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, dan pengawasan tersebut sama dengan kedua belas langkah manajemen yang dikemukakan oleh Gorton. Dengan demikian, kedua belas langkah manajemen yang dikedepankan Gorton di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Kegiatan tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan tersebut, seperti perencanaan, pengorganisa¬sian, pengerahan atau kepemimpinan,  dan pengawasan  tidak boleh  tidak harus dilakukan dalam  setiap administrasi.
1.    Perencanaan
Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan. Program kegiatan apa pun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua kegiatan terarah bagi tercapainya tujuan. Perencanaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya. Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait, baik manajer maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing. Selain itu rencana merupakan acuan  dalam  upaya  mengendalikan  kegiatan  lembaga,  sehingga tidak menyimpang dari pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena begitu pentingnya perencanaan tersebut, maka seorang manajer harus  memiliki kemampuan  merencanakan program. Terkait dengan perencanaan, berikut dikemukakan: (1) definisi perencanaan; (2) ciri-ciri perencanaan yang baik; dan (3) proses perencanaan yang baik.
Perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktivitas yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan. Perencanaan merupakan  langkah pertama dalam proses manajemen yang harus dilakukan oleh orang-orang  yang mengetahui  semua unsur organisasi. Keberhasilan  perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan manajemen secara kese¬luruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan  dengan sebaik-baiknya.
Menurut banyak pakar manajemen, perencanaan yang baik sebagai berikut.
a.    Dibuat bersama-sama oleh orang-orang yang memahami organisasi dan perencanaan.
b.    Disertai dengan rincian yang teliti;
c.    Tidak terlepas dari pemikiran pelaksanaan;
d.    Terdapat tempat pengambilan resiko;
e.    Sederhana, luwes, dan praktis;
f.    Didasarkan pada keadaan nyata masa kini dan masa depan;
g.    Direkomendasi oleh penguasa tertinggi.
Telah ditegaskan bahwa perencanaan merupakan sebuah proses yang memikirkan dan menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang. Oleh karena perencanaan merupakan sebuah proses, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam membuat perencanaan, yaitu:
a.    meramalkan masa depan;
b.    menganalisis kondisi lembaga;
c.    merumuskan tujuan secara operasional;
d.    mengumpulkan data atau informasi;
e.    menganalisis data atau informasi;
f.    merumuskan dan menetapkan alternatif program;
g.    menetapkan perkiraan pelaksanaan program;
h.    menyusun jadwal pelaksanaan program.
2.    Pengorganisasian
Pengorganisasian  merupakan keseluruhan proses pengelompokan  semua  tugas, tanggung jawab, wewenang,  dan  komponen dalam proses kerjasama sehingga tercipta suatu sistem  kerja yang baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan berdasarkan tujuan  dan  program kerja sebagaimana dihasilkan dalam perencanaan. Menurut Siagian (1981) pengorganisa¬sian  suatu program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai berikut.
a.    Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan.
b.    Mengelompokkan  pekerjaan atau tugas yang sama dan memi-liki fungsi yang sama.
c.    Memberikan  nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan atau  tugas  dengan nama yang kurang  lebih menggambarkan fungsinya masing-masing.
d.    Menentukan  orang-orang yang akan ditunjuk menyelesaikan setiap kelompok kerja atau tugas. Apabila ada kelompok kerja  atau tugas tertentu harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, maka salah satu di antara mereka perlu ditun¬juk sebagai penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung jawab).
e.    Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang  diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
f.    Menetapkan aturan kerja
g.    Menetapkan hubungan kerja
3.    Komponen-komponen organisasi kepala sekolah
Berdasarkan hakikat dan tugas-tugas pengorganisasian di atas, maka seorang kepala sekolah dasar perlu memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut.
a.    Menguasai konsep dasar dan teori organisasi.
1)    Memahami konsep dasar organisasi, yang menjadi landasan dalam penyusunan organisasi sekolah.
2)    Mengidentifikasi unsur-unsur organisasi sekolah.
3)    Menguasai kebijakan dan teori-teori dasar organisasi.
4)    Memahami prinsip-prinsip dasar, fungsi, dan keuntungan organisasi.
5)    Memahami teori hubungan kerja dan batas kemampuan pengawasan dalam organisasi.
b.    Menguasai teknik pengorganisasian.
1)    Memahami teknik pengorganisasian sebagai proses.
2)    Memahami dasar penyusunan struktur organisasi.
3)    Menerapkan langkah-langkah pengorganisasian kegiatan sekolah baik melalui ragam organisasi formal maupun informal.
4)    Memahami dan menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian secara proporsional.
5)    Mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan sekolah berdasarkan model struktur organisasi yang relevan.
6)    Mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja yang ada di sekolah sesuai dengan pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik.
7)    Mengembangkan standar operasional prosedur pelaksanaan tugas berdasarkan langkah-langkah operasional pengorganisasian yang baik.
8)    Mengenal dan memahami bentuk struktur organisasi di lingkungan Depdiknas dan sekolah.
c.    Menguasai kemampuan sebagai organisator.
1)    Memahami kecenderungan dan kebijakan pendidikan nasional dalam pengorganisasian sekolah.
2)    Memahami fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi.
3)    Memahami perilaku anggota dalam organisasi sekolah.
4)    Menguasai kemampuan penempatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan kelompok kerja dan tim yang efektif dan tepat persebaran.
5)    Menerapkan strategi peningkatan efektivitas kelompok.
6)    Melaksanakan proses pengambilan keputusan secara efektif.
7)    Menerapkan model-model pengambilan  keputusan dalam proses pemecahan masalah.
8)    Menerapkan ketrampilan-ketrampilan dasart berkomunikasi sebagai pemimpin organisasi di sekolah.
4.    Kepemimpinan
Keberhasilan suatu institusi dalam menjalankan program yang telah direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah kepemimpinan yang efektif. Segenap sumber daya yang ada harus dikerahkan sedemikian rupa. Semua sumber daya manusia perlu dikerahkan  secara efektif. Kehadiran kepemimpinan sangat esensial, mengingat kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki lembaga. Karena itu, kepemimpinan disebut sebagai fungsi organik dalam proses manajemen. Terkait dengan kepemimpinan tersebut berikut dikemukakan: (1) definisi kepemimpinan; (2) jenis kepemimpinan; dan (3) syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang efektif.
Secara sederhana kepemimpinan  dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai  dengan  aturan yang berlaku dalam  rangka  mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakikat kepemimpinan adalah kegiatan  seseorang menggerakkan orang lain, agar orang lain itu  berkenan melaksanakan  tugas-tugasnya. Dalam rangka memperoleh gambaran yang sederhana tentang kepemimpinan, perlu didistribusikan berikut ini dengan pengalaman praktis, yang pernah dirasakan di dalam proses kehidupan kelompok. Proses kepemimpinan seseorang dapat muncul dalam bentuk usaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Marilah kita amati di lingkungan sekolah dasar, kepala sekolah berusaha mempengaruhi para guru kelas, guru mata Pendidikan Agama atau guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, pesuruh sekolah. Agar mereka mau melakukan tugasnya masing-masing demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi dan ilustrasi kepemimpinan tersebut, proses kepemimpinan pada hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun, apabila ada unsur-unsur :
a)    orang yang memimpin.
b)    orang-orang yang dipimpin.
c)    kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan.
d)    tujuan yang ingin dicapai bersama.
Sepanjang sejarah perkembangan teori kepemimpinan, ditemukan banyak jenis kepemimpinan, tergantung dari mana memandangnya. Pertama, bilamana ditinjau dari status hukum, maka dua jenis kemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Seseorang yang  secara resmi diberi tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin disebut pemimpin formal atau pemimpin resmi (formal leader atau structural leader). Seseorang yang secara resmi tidak ditunjuk sebagai pemimpin,  namun dalam kesehariannya ia  selalu mampu mendorong, memotivasi, atau menggerakkan  orang  lain, maka  orang tersebut dinamakan pemimpin tidak resmi atau pemimpin informal  (informal leader atau  functional leader).  Orang-orang yang digerakkan atau didorong berarti orang-orang yang dipimpin.
Ditinjau dari karakteristik pemimpin, lahir tiga jenis kepemimpinan, yaitu kepemimpinan simbolik, kepemimpinan formal, dan kepemimpinan fungsional. Pemimpin simbolik adalah pemimpin yang ramah, jujur, bersemangat, kreatif, tabah, bijaksana, cerdas, humoris, lemah-lembut. Pemimpin formal adalah pemimpin yang memiliki posisi, gelar, jabatan, puncak hierarki, kuasa. Sedangkan pemimpin fungsional adalah pemimpin yang lahir dari peranan, fungsi dan kemanfaatannya bagi kelompok.
Sedangkan ditinjau dari tipenya, kepemimpinan dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu kepemimpinan otoriter, kepemimpin laizess-fire, kepemimpinan demokratis; dan kepemimpinan pseudo-demokratis.  Kepemimpinan otoriter diwarnai dengan  serba tergantungan kepada  pemimpin. Kepemimpinan leizess-faire adalah kepemimpinan yang semuanya bergantung bawahan; kepemimpinan demokratis diwarnai dengan tindakan kerjasama pemimpin dan bawahan. Sedangkan kepemimpinan pseudodemokratis merupakan kepemimpinan yang secara supervisial tampak, namun sebenarnya otoriter atau demi kepentingan kelompok kecil/klik; semu, manipulatif.
Telah ditegaskan di muka bahwa kepemimpinan merupakan fungsi organik dalam proses manajemen. Konsekuensinya, siapapun yang menjadi pemimpin harus memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, baik kepribadian, pengetahuan, dan ketrampilan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
a)    Seorang pemimpin harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi yang terpuji, antara lain ramah, periang, antusias, berani, murah hati, spontan, percaya diri, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, menerima pendapat orang lain.
b)    Seorang pemimpin harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan visi, misi, kondisi, dan aksi yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf agar mereka sepenuhnya memahami yang ingin dicapai bersama.
c)    Seorang pemimpin harus memiliki keterampilan dalam bidang yang dipimpinnya. Pemimpin pendidikan harus terampil dalam bidang pendidikan. Dengan keterampilan tersebut diharapkan pemimpin dapat membantu stafnya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi.
5.    Pengawasan
Pengawasan merupakan istilah yang cukup populer. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Fungsi tersebut mutlak harus dilakukan dalam setiap organisasi atau lembaga.  Ketidakmampuan atau kelalaian melakukan fungsi tersebut sangat mempengaruhi pencapaian tujuan lembaga. Dalam hubungannya dengan pengawasan dalam manajemen, berikut dikemukakan: (1) definisi pengawasan; (2) perspektif pengawasan; (3) pentingnya pengawasan; (4) prinsip-prinsip pengawasan yang baik; dan (5) proses pengawasan yang baik.
Kimbrough dan Nunnery (1983) mengartikan pengawasan sebagai proses memonitor kegiatan-kegiatan. Tujuannya untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata dicapai dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapan yang dimaksud tersebut adalah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang telah direncanakan untuk dilakukan dalam periode tertentu. Dengan demikian, pengawasan dalam konteks pendidikan itu merupakan proses memonitor kegiatan-kegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuan-tujuannya yang telah dicapai.
Pengertian di atas menyisyaratkan, bahwa sebelum dilakukan pengawasan pada sebuah lembaga tertentu perlu terlebih dahulu ditetapkan tujuan-tujuan lembaga yang ingin dicapai dan program-program lembaga yang akan dilakukan. Tiada seorang pimpinan lembaga tertentu dapat mengadakan pengawasan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya tujuan-tujuan lembaga yang ditetapkan dan program-program lembaga yang direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun di antara kepala sekolah dasar yang bisa melakukan pengawasan terhadap sekolahnya tanpa terlebih dahulu memahami tujuan-tujuan dan program-program kerja sekolahnya. Kimbrough dan Nunnery (1983) menegaskan, bahwa perencanaan program dan pengawasan organisasi merupakan dua kegiatan manajemen yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Adanya perencanaan yang baik memungkinkan ditetapkannya standar keberhasilan yang baik. Semakin baik perencanaan yang dibuat maka kemungkinannya semakin baik pula standar keberhasilan yang dapat ditetapkan. Adanya standar yang baik memungkinkan dilakukannya pengawasan yang baik. Pengawasan yang baik mampu memonitor pelaksanaan program-program organisasi, sehingga apabila terjadi beberapa penyimpangan yang berarti, dapat segera dilakukan perbaikan seperlunya dan sekaligus masukan bagi perencanaan berikutnya (Robbins, 1984).
Pengertian pengawasan sebagaimana diajukan oleh Kombrough dan Nunnery tersebut di atas sesuai dengan pengertian pengawasan yang dikemukakan oleh Mockler (1972). Pengertian yang dikemukakan oleh Mockler  lebih operasional yang menunjukkan langkah-langkah pengawasan sebagai suatu proses yang sistematis. Menurut Mockler, pengawasan merupakan usaha sistematis untuk menetapkan standar berdasarkan tujuan dan perencanaan, merancang sistem umpan balik, membandingkan performansi nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan ada atau tidaknya perbedaan antara performansi nyata dan standar, dan melakukan perbaikan-perbaikan tertentu untuk menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara efisien dalam mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian, berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengawasan itu pada dasarnya merupakan pengendalian performansi sebuah lembaga. Tujuan agar performansi lembaga tersebut tidak menyimpang dari tujuan, program, prosedur-prosedur, aturan-aturan, dan prinsip-prinsip kelembagaan. Namun tidak berarti bahwa dalam pengawasan itu pimpinan dan atau stafnya tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan perorangan anggota lembaganya. Sebab perlu disadari bahwa sebuah lembaga sebagai suatu sistem sosial itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan dan harapan lembaga sebagai unsur institusional, melainkan juga terdiri dari personalitas dan kepentingan perorangan staf lembaga sebagai unsur individu untuk dikembangkan dan dicapai melalui kerjanya. Pengawasan yang baik itu adalah pengawasan yang mampu mengendalikan performansi organisasi menuju pencapaian tujuan organisasi, dengan tidak mengenyampingkan kepentingan-kepentingan individual anggota organisasi (Pidarta, 1988).
Sementara ini ada dua perspektif teoretik mengenai pengawasan sebagai upaya pemodifikasian performansi seseorang (Wren & Voich, 1984), tetapi dari teori-teori tersebut banyak memberikan dukungan yang tidak ajek mengenai pengawasan. Pertama adalah perspektif “teori” X. Menurut “teori” X, kebanyakan manusia itu kurang memiliki motivasi dan pasif. Mereka kurang memiliki tanggung jawab. Tanpa intervensi dari pimpinan, mereka akan pasif, sehingga mereka harus dipimpin, diarahkan dan diawasi. Kedua adalah perspektif “teori” Y. Menurut “teori” Y, pada umumnya manusia itu memiliki motivasi dan tidak pasif. Mereka menyukai tanggungjawab, produktif dan kurang suka diawasi. Tanpa melalui intervensi dari atasannya, mereka tetap masih bisa melakukan dan menghasilkan sesuatu yang produktif. Dalam perkataan lain, “teori” X lebih mendukung dan mempercayai pengawasan eksternal sebagai upaya memodifikasi performasi seseorang, sedangkan “teori” Y lebih mendukung pengawasan internal dalam memodifikasi performansi seseorang (Carver & Sergiovanni, 1969).
Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan pengawasan dalam sebuah lembaga itu penting dan merupakan fungsi esensial dalam pengelolaan pada lembaga yang bersangkutan. Faktor pertama, terletak pada accountability. Agar semua tenaga atau karyawan pada sebuah lembaga mengemban tugas dan tanggung-jawabnya masing-masing, mereka perlu mengetahui secara pasti apa tugas dan tanggung-jawabnya, bagaimana performansi mereka akan diukur, dan standar keberhasilan performansi yang digunakan sebagai kriteria di dalam pengukurannya. Pertanggung-jawaban tersebut tidak mungkin terlaksana dengan sungguh-sungguh tanpa adanya suatu sistem pengawasan yang baik.
Faktor kedua, terletak pada rapidity of change. Setiap lembaga merupakan institusi sosial yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Seringkali lingkungan tersebut mengalami perubahan-perubahan dengan cepat sekali. Perubahan-perubahan tersebut menghendaki penyesuaian taktik dan strategi dari lembaga. Agar perubahan-perubahan lingkungan bisa dipantau dan penyesuaian taktik dan strategi terhadap perubahan-perubahan itu bisa dilakukan maka perlu adanya sistem pengawasan.
Sebagai faktor ketiga terletak pada complexity today’s organization. Setiap lembaga yang besar dan maju mempunyai program-program yang bermacam-macam untuk mencapai tujuan yang juga besar dan kompleks. Bahkan banyak lembaga yang membuka cabang-cabangnya di beberapa tempat yang secara geografis terpencar dari pusatnya. Lembaga yang demikian itu menghendaki adanya sebuah sistem pengawasan yang tepat dan mantap.
Pengawasan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pengawasan yang pada dasarnya dilakukan untuk memantau, mengarahkan, dan membina kinerja, serta tidak dipandang sebagai satu kegiatan yang menakutkan. Karena itu ada prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang teguh, yaitu sebagai berikut: (1) prinsip manajerial; (2) prinsip organisasional; (3) prinsip obyektif dan keterbukaan; (4) prinsip pencegahan dan perbaikan; dan (5) prinsip efisiensi dan fleksibilitas
Walaupun antara ahli-ahli di atas berbeda-beda di dalam mendeskripsikan langkah-langkah pengawasan, namun kesemuanya memiliki kesamaan makna, bahwa ada empat langkah di dalam melakukan pengawasan, yaitu : (1) menetapkan standar performansi, (2) mengukur performansi aktual, (3) membandingkan performansi aktual dengan standar performansi yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan performansi apabila ternyata performansi aktual tidak sesuai dengan standar.

E.    Kegiatan Manajemen Di Sekolah Dasar
Semakin besar sebuah sekolah dasar juga semakin banyak pula komponen orang yang dilibatkan atau fasilitas yang digunakan. Agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien, tentunya semua orang yang yang dilibatkan dan fasilitas perlu didayagunakan sedemikian rupa bagi keberhasilan pendidikan di sekolah dasar. Proses pendayaguaan semua komponen sekolah dasar itulah yang disebut dengan kegiatan manajemen sekolah dasar.
Lebih lanjut apabila diidentifikasi terus akan didapatkan sekian banyak, ratusan atau bahkan menjadi ribuan permasalahan di sekolah dasar. DeRoche (985), sebelum menyusun bukunya yang berjudul How School Administrator Solve the Problem melakukan survey kepada dua ribu kepala sekolah. Dalam survey itu meminta setiap kepala sekolah menuliskan pada kartu pos masalah-masalah yang dihadapi disekolahnya masing-masing. Berdasarkan kartu pos yang dikirim kepala sekolah kepadanya,  DeRoche berhasil mengidentifikasi dua ribu kegiatan manajemen sekolah. Namun para pakar administrasi pendidikan telah mencoba mengklasifikasi komponen-komponen tersebut menjadi beberapa gugusan substansi pendidikan. Mereka mengelompokkanya menjadi enam gugusan substansi, yaitu gugusan-gugusan substansi (1) kurikulum atau pembelajaran; (2) kesiswaan; (3) kepegawaian; (4) sarana dan prasarana; (5) keuangan; dan (6) lingkungan masyarakat.
Demikianlah sehingga paling tidak enam manajemen di sekolah dasar, yaitu manajemen kurikulum dan pembelajaran, manajemen kesiswaan yang sering juga disebut dengan manajemen peserta didik, manajemen kepegawaian, manajemen sarana dan prasarana, manajemen keuangan, dan manajemen hubungan masyarakat.
1.    Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran
a.    Penyusunan/Reviu KTSP dan silabus
b.    Penyusunan kalender pendidikan
c.    Penyusunan program tahunan
d.    Penyusunan rencana pembelajaran (RPP)
e.    Pembagian tugas mengajar dan tugas lain
f.    Penyusunan jadwal pelajaran
g.    Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan
h.    Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler
i.    Penyusunan progran jadwal kegiatan bimbingan dan penyuluhan
j.    Pengaturan pembukaan tahun ajaran baru
k.    Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
l.    Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan
m.    Supervisi pelaksanaan pembelajaran
n.    Supervisi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan
Kurikulum tingkat satuan pendidikan, sebagai jantung pembelajaran, pengembangannya tidak hanya didasarkan kepada kehendak kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, melainkan juga harus memperhatikan tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan di provinsi, dan tujuan pendidikan lokal (kabupaten/kota). Tujuan-tujuan tersebut  yang merupakan arah untuk dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan kompetensi lulusan peserta didik. Selanjutnya, kedirian peserta didik sebagai manusia yang berkarakter, berharkat dan bermartabat harus menjadi bahan pertimbangan pula. Di samping itu, esensi dan profesionalisme guru sebagai pendidik, harus menjadi pemahaman yang komperhensif dan tepat dalam pengembangan kurikulum.
Landasan pengembangan kurikulum tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan tersusunnya kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu kepada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Di samping itu, ada Peraturan Menteri Pendidikan nasional No. 22 Tahun  2006 Tentang Standar isi; dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2007  Tentang Standar Kompetensi Kelulusan yang harus dijadikan pondasi dalam mengembangkan KTSP. Berdasarkan kepada empat landasan tersebut ditambah Panduan Penyusunan KTSP dari BSNP, serta pemahaman terhadap kedirian peserta didik dan esensi dan tugas profesional guru sebagai pendidik, maka disusun dan dikembangkanlah menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari delapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk: a. belajar untuk bermain dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. belajar untuk memahami dan menghayatai; c. belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; d. belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain; dan e. belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
2.    Manajemen Peserta Didik
Manajemen peserta didik termasuk salah satu  substansi manajemen  pendidikan. Peserta didik ini juga mempunyai sebutan-sebutan lain seperti murid, subjek didik, anak didik, pembelajar, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebutan-sebutan yang berbeda pada buku ini mempunyai maksud yang sama. Apapun istilahnya, yang jelas peserta didik adalah mereka yang sedang mengikuti program pendidikan pada suatu sekolah atau jenjang pendidikan tertentu.
Manajemen peserta didik menduduki posisi strategis, karena sentral layanan pendidikan, baik dalam latar institusi persekolahan maupun yang berada di luar latar institusi persekolahan, tertuju kepada peserta didik. Semua kegiatan pendidikan, baik yang berkenaan dengan manajemen  akademik, layanan pendukung akademik, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana prasarana dan hubungan sekolah dengan masyarakat, senantiasa diupayakan agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan yang andal.
Kata manajemen peserta didik merupakan penggabungan dari kata manajemen, peserta didik dan berbasis sekolah. Manajemen sendiri diartikan bermacam-macam sesuai dengan sudut tinjau para ahlinya. Sedangkan secara stimologis, kata manajemen merupakan terjemahan dari management (bahasa Inggris). Kata management sendiri berasal dari kata manage atau magiare yang berarti melatih kuda dalam melangkahkan kakinya. Dalam pengertian manajemen, terkandung dua kegiatan ialah kegiatan pikir (mind) dan kegiatan tindak-laku (action) (Sahertian, 1982). Sedangkan Terry (1953) mendefinisasikan manajemen sebagai pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui usaha orang lain (Management is the accomplishing of the predertemined objective throug the effort of other people). Sementara itu, Siagian (1978) mendefinisikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan. Di lain pihak, The Liang Gie (1978) memberikan batasan manajemen sebagai segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang atau mengarahkan segala fasilitas dalam suatu usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari semua pendapat itu, jelaslah bahwa manajemen adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang didasarkan atas aturan tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan. Dua orang atau lebih yang bekerjasama tersebut, karena adanya aturan-aturan tertentu, ada yang bertindak selaku manajernya ada yang bertidak sebagai yang dimanajerinya. Orang yang mengelola tersebut ketika mengerjakan pekerjaannya tidak dengan menggunakan tangan sendiri melainkan tangan orang lain; sementara orang-orang yang dimanaj dalam bekerja dengan menggunakan tangan sendiri. Dalam bekerja tersebut, baik yang menjadi manajernya maupun yang dimanaj, dapat mendayagunakan prasarana dan sarana yang tersedia.
Apa yang dimaksud dengan Manajemen Peserta Didik? Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik  atau pupil personnel administration sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah.
Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah. Yang diatur secara langsung adalah segi-segi yang berkenaan dengan  peserta didik secara tidak langsung. Pengaturan terhadap segi-segi lain selain peserta didik dimaksudkan untuk memberikan layanan yang sebaik mungkin kepada peserta didik.
Sementara itu, manajemen peserta didik adalah manajemen peserta didik yang memberikan tekanan pada empat pilar manajemen berbasis sekolah, ialah: mutu, kemandirian, partisipasi masyarakat dan transparansi.  Jadi, seluruh aktivitas manajemen peserta didik, haruslah diaksentuasikan pada penonjolan empat pilar manajemen berbasis sekolah tersebut.
Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Tujuan khusus manajemen peserta didik, yaitu (1) meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan psikomotor peserta didik; (2) menyalurkan dan mengembangkan kemampuan umum (kecerdasan), bakat dan minat peserta didik; (3) menyalurkan aspirasi, harapan dan memenuhi kebutuhan peserta didik; (4) dengan terpenuhinya 1, 2, dan 3 di atas diharapkan peserta didik dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang lebih lanjut dapat belajar dengan baik dan tercapai cita-cita mereka.
Fungsi manajemen peserta didik secara khusus dirumuskan sebagai berikut.
a.    Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan individualitas peserta didik, bertujuan   agar   dapat mengembangkan potensi-potensi individualitasnya tanpa banyak terhambat. Potensi-potensi bawaan tersebut meliputi: kemampuan umum (kecerdasan), kemampuan khusus (bakat), dan kemampuan lainnya.
b.    Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan fungsi sosial peserta didik yang bertujuan agar  mereka dapat mengadakan sosialisasi dengan sebayanya, dengan orang tua dan keluarganya, dengan lingkungan sosial sekolahnya dan lingkungan sosial masyarakatnya. Fungsi ini berkaitan dengan hakekat peserta didik sebagai makhluk sosial.
c.    Fungsi yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi dan harapan peserta didik, yang bertujuan   agar peserta didik tersalur hobi, kesenangan dan minatnya. Hobi, kesenangan dan minat peserta didik demikian patut disalurkan, oleh karena ia juga dapat menunjang terhadap perkembangan diri peserta didik secara keseluruhan.
d.    Fungsi yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan peserta didik yang bertujuan   agar peserta didik sejahtera dalam hidupnya. Kesejahteraan demikian sangat penting karena dengan demikian ia akan juga turut memikirkan kesejahteraan sebayanya.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa manajemen peserta didik adalah suatu pengaturan terhadap peserta didik di sekolah, sejak peserta didik masuk sampai dengan peserta didik lulus. Ruang lingkup manajemen peserta didik, sebenarnya meliputi pengaturan aktivitas-aktivitas peserta didik sejak yang bersangkutan masuk ke sekolah hingga yang bersangkutan lulus, baik yang berkenaan dengan peserta didik secara langsung, maupun yang berkenaan dengan peserta didik secara tidak langsung: kepada tenaga kependidikan, sumber-sumber pendidikan, prasarana dan sarananya.
Secara rinci, ruang lingkup peserta didik adalah sebagai berikut.
a.    Perencanaan peserta didik, termasuk di dalamnya adalah: school census, school size, class size dan efektive class.
b.    Koordinasi kegiatan peserta didik, yang meliputi: komunikasi ,  integrasi   dan singkronisasi.
c.    Penerimaan peserta didik, meliputi penentuan: kebijaksanaan, sistem, kriteria, prosedur, dan pemecahan problema-problema penerimaan peserta didik.
d.    Orientasi peserta didik baru, meliputi pengaturan: hari-hari pertama peserta didik di sekolah, pekan orientasi peserta didik, pendekatan yang dipergunakan dalam orientasi peserta didik, dan teknik-teknik orientasi peserta didik.
e.    Mengatur kehadiran, ketidak-hadiran peserta didik di sekolah. Termasuk di dalamnya adalah: peserta didik yang membolos, terlambat datang dan meninggalkan sekolah sebelum waktunya.
f.    Mengatur kenaikan tingkat peserta didik.
g.    Mengatur kode etik, pengadilan dan peningkatan disiplin peserta didik.
Dalam versi lain, manajemen peserta didik meliputi:
a.    perencanaan daya tampung
b.    perencanaan penerimaan peserta didik baru
c.    penerimaan peserta didik baru
d.    pengelompokan peserta didik  berdasarkan pola tertentu
e.    pembinaan disiplin belajar peserta didik
f.    pencatatan kehadiran peserta didik
g.    pengaturan perpindahan peserta didik
h.    pengaturan kelulusan peserta didik
i.    pemantauan peserta didik
j.    penilaian peserta didik
3.    Manajemen Kepegawaian
Dalam lembaga apapun keberadaan pegawai menempati kedudukan yang paling vital. Memang diakui bahwa biaya itu penting, demikian pula sarana, prasarana dan teknologi. Namun ketersediaan sumber  daya itu menjadi sia-sia apabila ditangani oleh pegawai yang tidak kompeten dan kurang komitmen. Upaya-upaya untuk merencanakan kebutuhan pegawai (SDM), mengadakan, menyeleksi, menempatkan dan memberi penugasan secara tepat telah menjadi perhatian penting pada setiap organisasi yang kompetitif. Demikian pula kebijakan kompensasi (penggajian dan kesejahteraan) dan penilaian kinerja yang dilakukan dengan adil dan tepat dapat melahirkan motivasi berprestasi pada para pegawai. Fungsi-fungsi manajemen kepegawaian seperti itu masih belum cukup, apabila tidak disertai dengan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pegawai yang dilakukan secara sistematik.
Dalam arti yang tradisional, konsep pengelolaan pegawai terbatas pada urusan-urusan manajemen operatif, seperti mengelola data pegawai (record keeping), penilaian kinerja yang bersifat mekanistik (mechanical job evaluation), kenaikan pangkat dan gaji secara otomatis (automatic merit increase). Perhatian terhadap SDM pada masa kini mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan pegawai (fisik, emosional dan sosial), yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap cara-cara mereka bekerja, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap produktivitas mereka. Manajemen Sumber Saya Manusia (MSDM) adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pengakuan pada pentingnya tenaga kerja pada organisasi sebagai sumber daya manusia yang vital, yang memberikan sumbangan terhadap tujuan organisasi, dan memanfaatkan fungsi dan kegiatan yang menjamin bahwa sumber daya manusia dimanfaatkan secara efektif dan adil demi kemaslahatan individu, organisasi, dan masyarakat.
Pegawai pada masa kini memfasilitasi aktualisasi dan pengembangan kompetensi   para pegawai melalui program-program pengembangan dan pemberdayaan yang dilakukan secara sistematik. Pengembangan dan pemberdayaan pegawai merupakan bagian dari MSDM yang memiliki fungsi untuk memperbaiki kompetensi, adaptabilitas dan komitmen para pegawai. Dengan cara demikian organisasi memiliki kekuatan  bukan saja sekedar bertahan (survival), melainkan tumbuh (growth), produktif (productive), dan kompetitif (competitive). Dan dalam proses demikian, dukungan pegawai yang kuat melahirkan organisasi yang memiliki adaptabilitas dan kapasitas memperbaharui dirinya (adaptability and self-renewal capacity).
Ada lima aspek kajian manajemen kepegawaian, yaitu (1) perencanaan kebutuhan, (2) rekrutmen dan seleksi, (3) pembinaan dan pengembangan, (4) mutasi dan promosi, dan (5) kesejahteraan. Namun demikian, dipertimbangkan akan lebih bermanfaat apabila para peserta diklat memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai manajemen sumber daya manusia (MSDM). Manajemen SDM merupakan proses sistematik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan kebutuhan organisasi, memperlakukan pegawai secara adil dan bermartabat, serta menciptakan kondisi yang memungkinkan pegawai memberikan sumbangan optimal terhadap organisasi. Manajemen SDM mencakup kegiatan sebagai berikut. (1) Perencanaan SDM, (2) analisis pekerjaan, (3) pengadaan pegawai, (4) seleksi pegawai, (5) orientasi, penempatan dan penugasan, (6) konpensasi, (7) penilaian kinerja, (8)  pengembangan karir, (9) pelatihan dan pengembangan pegawai, (10) penciptaan mutu kehidupan kerja, (11) perundingan kepegawaian, (12) riset pegawai, dan (13) pensiun dan pemberhentian pegawai.
4.    Manajemen Sarana dan Prasarana
Keberhasilan program pendidikan melalui proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai disertai pemanfaatan dan pengelolaan secara optimal. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting dan utama dalam menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah, untuk itu perlu dilakukan peningkatan dalam pendayagunaan dan pengelolaannya, agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dewasa ini masih sering ditemukan banyak sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki oleh  sekolah yang diterima sebagai bantuan, baik dari pemerintah maupun masyarakat yang tidak optimal penggunaannya dan bahkan tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Hal itu disebabkan antara lain oleh kurangnya kepedulian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki serta tidak adanya pengelolaan yang memadai.
Seiring dengan perubahan pola pemerintahan setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka pola pendekatan manajemen sekolah saat ini berbeda pula dengan sebelumnya, yakni lebih bernuansa otonomi. Untuk mengoptimalkan penyediaan, pendayagunaan, perawatan dan pengendalian sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, diperlukan penyesuaian manajemen sarana dan prasarana. Sekolah dituntut memiliki kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut kebutuhan dan kemampuan sendiri serta berdasarkan pada aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada peraturan dan perundangan-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Hal itu terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Untuk mewujudkan dan mengatur hal tersebut, maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tetang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa; (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
a.    Rincian manajemen sarana  prasarana di sekolah dasar meliputi berikut ini.
1)    Analisis kebutuhan sarana dan prasarana sekolah
2)    Perencanaan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah
3)    Pendistribusian sarana dan prasarana sekolah
4)    Penataan sarana dan prasarana sekolah
5)    Pemanfaat sarana dan prasarana sekolah secara efektif dan efisien
6)    Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
7)    Inventarisasi sarana dan prasarana sekolah
8)    Penghapusan sarana dan prasarana sekolah
9)    Pemantauan kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
10)    Penilaian kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
b.    Manajemen sarana prasarana dapat juga difokuskan pada:
1)    merencanakan kebutuhan fasilitas (bangunan, peralatan, perabot, lahan, infrastruktur) sekolah sesuai dengan rencana pengembangan sekolah;
2)    mengelola pengadaan fasilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku;
3)    mengelola pemeliharaan fasilitas, baik perawatan preventif maupun perawatan terhadap kerusakan fasilitas sekolah;
4)    mengelola kegiatan inventaris sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan sistem pembukuan yang berlaku.
Perencanaan merupakan suatu proses  kegiatan menggambarkan sebelumnya hal-hal yang akan dikerjakan kemudian dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini perencanaan yang dimaksud adalah merinci rancangan pembelian,  pengadaan, rehabilitasi, distribusi atau pembuatan peralatan dan perlengkapan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian perencanaan sarana dan prasarana persekolahan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses perkiraan secara matang rancangan pembelian, pengadaan, rehabilitasi, distribusi atau pembuatan peralatan dan perlengkapan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Pada dasarnya tujuan diadakannya perencanaan sarana dan prasarana pendidikan persekolahan adalah: (1) Untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kegagalan yang tidak diinginkan, (2) Untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalam pelaksanaannya. Salah rencana dan penentuan kebutuhan merupakan kekeliruan dalam menetapkan kebutuhan sarana dan prasarana yang kurang/tidak memandang kebutuhan ke depan, dan kurang cermat dalam menganalisis kebutuhan sesuai dengan dana yang tersedia dan tingkat kepentingan.
Pengadaan adalah  kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan semua jenis sarana dan prasarana pendidikan persekolahan  yang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks persekolahan, pengadaan merupakan segala kegiatan yang dilakukan dengan cara menyediakan semua keperluan barang atau jasa berdasarkan hasil perencanaan dengan maksud untuk menunjang kegiatan pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pengadaan sarana dan prasarana merupakan fungsi operasional pertama dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan persekolahan. Fungsi ini pada hakikatnya merupakan serangkaian kegiatan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan persekolahan sesuai dengan kebutuhan, baik berkaitan dengan jenis dan spesifikasi, jumlah, waktu maupun tempat, dengan harga dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan untuk melaksanakan pengurusan dan pengaturan agar semua sarana dan prasarana selalu dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdayaguna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan pendidikan. Pemeliharaan merupakan kegiatan penjagaan atau pencegahan dari kerusakan suatu barang, sehingga barang tersebut kondisinya baik dan siap digunakan. Pemeliharaan mencakup segala daya upaya yang terus menerus untuk mengusahakan agar peralatan tersebut tetap dalam keadaan baik. Pemeliharaan dimulai dari pemakaian barang, yaitu dengan cara hati-hati dalam menggunakannya. Pemeliharaan yang bersifat khusus harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai keahlian sesuai dengan jenis barang yang dimaksud. Tujuan pemeliharaan adalah: (1) untuk mengoptimalkan usia pakai peralatan. Hal ini sangat penting terutama jika dilihat dari aspek biaya, karena untuk membeli suatu peralatan akan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan merawat bagian dari peralatan tersebut; (2) untuk menjamin kesiapan operasional peralatan untuk mendukung kelancaran pekerjaan sehingga diperoleh hasil yang optimal; (3) untuk menjamin ketersediaan peralatan yang diperlukan melalui pencekkan secara rutin dan teratur; dan (4) untuk menjamin keselamatan orang atau siswa yang menggunakan alat tersebut.
Manfaat pemeliharaan adalah:
1)    jika peralatan terpelihara baik, umurnya akan awet yang berarti tidak perlu mengadakan penggantian dalam waktu yang singkat.
2)    pemeliharaan yang baik mengakibatkan jarang terjadi kerusakan yang berarti biaya perbaikan dapat ditekan seminim mungkin.
3)    dengan adanya pemeliharaan yang baik, maka akan lebih terkontrol sehingga menghindar kehilangan.
4)    dengan adanya pemeliharaan yang baik, maka enak dilihat dan dipandang.
5)    pemeliharaan yang baik memberikan hasil pekerjaan yang baik.
Inventarisasi berasal dari kata “inventaris” ( dalam bahasa Latin: inventarium) yang berarti daftar barang-barang, bahan dan sebagainya. Inventarisasi sarana dan prasarana pendidikan  adalah pencatatan atau pendaftaran barang-barang milik sekolah ke dalam suatu daftar inventaris barang secara tertib dan teratur menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku. Barang inventaris sekolah adalah semua barang milik negara (yang dikuasai sekolah) baik yang diadakan/dibeli melalui dana dari pemerintah, DPP maupun diperoleh sebagai pertukaran, hadiah atau hibah serta hasil usaha pembuatan sendiri di sekolah guna menunjang kelancaran proses belajar mengajar.
Tiap sekolah wajib menyelenggarakan inventarisasi barang milik negara yang dikuasai/diurus oleh sekolah masing-masing secara teratur, tertib dan lengkap. Kepala sekolah melakukan dan bertanggung jawab atas terlaksananya inventarisasi fisik dan pengisian daftar inventaris barang milik negara yang ada di sekolahnya.
Secara umum, inventarisasi dilakukan dalam rangka usaha penyempurnaan pengurusan dan pengawasan yang efektif terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah. Secara khusus, inventarisasi dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut.
1)    Untuk menjaga dan menciptakan tertib administrasi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah.
2)    Untuk menghemat keuangan sekolah baik dalam pengadaan maupun untuk pemeliharaan dan penghapusan sarana dan prasarana sekolah.
3)    Sebagai bahan atau pedoman untuk menghitung kekayaan suatu sekolah dalam bentuk materil yang dapat dinilai dengan uang.
4)    Untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah.
Daftar inventarisasi barang yang disusun dalam suatu organisasi yang lengkap, teratur dan berkelanjutan dapat memberikan manfaat, yakni sebagai berikut.
1)    Menyediakan data dan informasi dalam rangka menentukan kebutuhan dan menyusun rencana kebutuhan barang.
2)    Memberikan data dan informasi untuk dijadikan bahan/pedoman dalam pengarahan pengadaan barang.
3)    Memberikan data dan informasi untuk dijadikan bahan/pedoman dalam penyaluran barang.
4)    Memberikan data dan informasi dalam menentukan keadaan barang ( tua, rusak, lebih) sebagai dasar untuk menetapkan penghapusannya.
5)    Memberikan data dan informasi dalam rangka memudahkan pengawasan dan pengendalian barang.
Sedangkan penghapusan sarana dan prasarana merupakan kegiatan pembebasan sarana dan prasarana dari pertanggungjawaban yang berlaku dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara lebih operasional penghapusan sarana dan prasarana adalah proses kegiatan yang bertujuan untuk mengeluarkan/menghilangkan sarana dan prasarana dari daftar inventaris, karena sarana dan prasarana tersebut sudah dianggap tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, terutama untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Penghapusan sarana dan prasarana dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Penghapusan sebagai salah satu fungsi manajemen sarana dan prasarana pendidikan persekolahan harus mempertimbangkan alasan-alasan normatif tertentu dalam pelaksanaannya. Oleh karena muara berbagai pertimbangan tersebut tidak lain adalah demi efektivitas dan efisiensi kegiatan persekolahan.
Penghapusan sarana dan prasarana pada dasarnya  bertujuan untuk:
1)    mencegah atau sekurang-kurangnya membatasi kerugian/pemborosan biaya pemeliharaan sarana dan prasarana yang kondisinya semakin buruk, berlebihan atau rusak dan  sudah tidak dapat digunakan lagi.
2)    meringankan beban kerja pelaksanaan inventaris.
3)    membebaskan ruangan dari penumpukan barang-barang yang tidak dipergunakan lagi.
4)    membebaskan barang dari tanggung jawab pengurusan kerja.
Ada beberapa alasan yang harus diperhatikan untuk dapat menyingkirkan atau menghapus sarana dan prasarana. Beberapa alasan tersebut yang dapat dipertimbangkan untuk menghapus sesuatu sarana dan prasarana harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat di bawah ini.
1)    Dalam keadaan sudah tua atau rusak berat sehingga tidak dapat diperbaiki atau dipergunakan lagi.
2)    Perbaikan akan menelan biaya yang besar sehingga merupakan pemborosan.
3)    Secara teknis dan ekonomis kegunaannya tidak seimbang dengan besarnya biaya pemeliharaan.
4)    Tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini.
5)    Penyusutan di luar kekuasaan pengurus barang (misalnya barang kimia).
6)    Barang yang berlebih jika disimpan  lebih lama akan bertambah rusak dan tak terpakai lagi.
7)    Dicuri, terbakar, musnah sebagai akibat bencana alam.
5.    Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan merupakan salah satu gugusan substansi administrasi pendidikan. Manajemen keuangan adalah salah satu bidang garapan administrasi pendidikan yang secara khusus menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dimiliki dan digunakan di sekolah dasar.
a.    Pengertian manajemen keuangan
Menurut para pakar administrasi pendidikan, manajemen keuangan pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pemerolehan dan pendayagunaan uang secara tertib, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian yang sangat sederhana tersebut ada dua hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan manajemen keuangan di sekolah dasar. 1) Manajemen keuangan itu merupakan keseluruhan proses upaya memperoleh dan mendayagunakan semua dana. Dengan demikian, paling tidak ada dua kegiatan besar dalam manajemen keuangan di sekolah dasar. Pertama, mencari sebanyak mungkin sumber-sumber keuangan dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapalembaga pendidikanan dana dari sumber-sumber keuangan tersebut. Kedua, menggunakan semua dana yang tersedia atau diperoleh semata-mata untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar. 2) Penggunaan semua dana sekolah dasar  harus efektif, dan efisien. Selain itu penggunaan semua dana sekolah dasar  harus tertib, dan mudah dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang terkait.
b.    Tujuan manajemen keuangan di sekolah dasar adalah untuk mengatur sedemikian rupa sehingga semua upaya pemerolehan dana dari berbagai sumber dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Apabila dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka semua upaya pemerolehan dana dapat berhasil. Sumber dana yang dimaksud di sini antara lain berasal dari Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional, atau Kantor Dinas Pendidikan Nasional propinsi, kabupaten, kota), yayasan, atau pihak-pihak lainnya. Selain itu, tujuan pelaksanaan manajemen keuangan di sekolah dasar adalah untuk mengatur semua pemanfaatan dana yang tersedia atau diperoleh dari semua sumber. Dengan pengaturan yang sebaik-baiknya diharapkan semua dana yang ada dan tersedia dapat dimanfaatkan lembaga pendidikanan secara efektif, efisien, tertib, dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.    Prinsip dasar manajemen keuangan
Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang teguh dalam manajemen keuangan di sekolah dasar, yaitu sebagai berikut.
1)    Sumber dana pendidikan di sekolah dasar tidak sedikit, tidak hanya dari Pemerintah atau yayasan yang menaunginya. sekolah dasar bisa secara kreatif mencari sumber-sumber dana pendidikan dalam rangka eksistensinya sebagai sekolah dasar prasekolah. Namun dalam upaya memperoleh dana pendidikan dari berbagai sumber dana, hendaknya dana yang tidak mengikat lembaga atau sekolah dasar.
2)    Dana pendidikan yang tersedia atau ada harus dimanfaat sekolah dasar secara efektif dan efisien. Efektif berarti semua dana yang ada digunakan semata-mata untuk pendidikan sekolah dasar. Sedangkan efisien berarti dana yang tersedia, berapapun banyaknya, harus didayagunakan sehemat mungkin. Agar memenuhi prinsip tersebut, maka dianjurkan agar setiap pendayagunaan dana selalu didahului dengan kegiatan perencanaan anggaran.
3)    Semua manajemen keuangan di sekolah dasar hendaknya didasarkan pada peraturan perundang-undangan keuangan yang berlaku, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
4)    Pelaksanaan manajemen keuangan di sekolah dasar merupakan tanggung jawab kepala sekolah dasar. Namun pelaksanaannya dapat melibatkan sekolah dasar guru-gurunya. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja sekolah dasar (RAPBT) misalnya, merupakan tanggung jawab kepala sekolah dasar. Namun kepala sekolah dasar dapat mengajar guru-guru dan pesuruhnya dalam rapat penyusunan anggaran untuk menyusun anggaran pendapatan dan sekolah dasarnya itu.
Sebagaimana telah ditegaskan bahwa beberapa kegiatan manajemen keuangan di sekolah dasar, yaitu:
a.    penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
b.    pengadaan dan pengalokasian anggaran berdasarkan RAPBS
c.    pelaksanaan anggaran sekolah
d.    pembukuan keuangan sekolah
e.    pertanggungjawaban keuangan sekolah
f.    pemantauan keuangan sekolah
g.    penilaian kinerja manajemen keuangan sekolah
6.    Manajemen Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua murid dan masyarakat mempumyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauh mana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik (Kumars, 1989). Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini nampaknya memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak-anak di sekolah. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Husen (1988) dalam penelitiannya bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua mereka dalam memberikan dukungan.
Penelitian lain yang memperkuat apa yang dikemukakan di atas dinyatakan oleh Levine & Hagigust, 1988) yang menyatakan bahwa lingkungan keluarga, cara perlakuan orang tua murid terhadap anaknya sebagai salah satu cara/bentuk partisipasi mereka dalam pendidikan dapat meningkatkan intelektual anak. Partisipasi orang tua ini sangat tergantung pada ciri dan kreativitas sekolah dalam menggunakan pendekatan kepada mereka. Artinya masyarakat akan berpartisipasi secara optimal terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah sangat tergantung pada apa dan bagaimana sekolah melakukan pendekatan dalam rangka memberdayakan mereka sebagai mitra penyelenggaraan sekolah yang berkualitas. Hal ini ditegaskan oleh  Brownell bahwa pengetahuan masyarakat tentang program merupakan awal dari munculnya perhatian dan dukungan. Oleh sebab itu orang tua/masyarakat yang tidak mendapatkan penjelasan dan informasi dari sekolah tentang apa dan bagaimana mereka dapat membantu sekolah (lebih-lebih di daerah perdesaan) akan cenderung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, bagaimana mereka harus melakukan untuk membantu sekolah. Hal tersebut sebagai akibat ketidak pengertian mereka.
Di negara-negara maju, sekolah memang dikreasikan oleh masyarakat, sehingga mutu sekolah menjadi pusat perhatian mereka dan selalu mereka upayakan untuk dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena mereka sudah meyakini bahwa sekolah merupakan cara terbaik dan meyakinkan untuk membina perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka. Mengingat keyakinan yang tinggi akan kemampuan sekolah dalam pembentukan anak-anak mereka dalam membangun masa depan yang baik tersebut membuat mereka berpartisipasi secara aktif dan optimal mulai dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah. Nampak mereka selain merasa sebagai pemilik sekolah juga sebagai penanggung jawab atas keberhasilan sekolah. Kondisi ini dapat terjadi karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat yang bersangkutan.
Pentingnya keterlibatan orang tua/masyarakat akan keberhasilan pendidikan ini telah dibuktikan kebenarannya oleh Richard Wolf dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan (0.80) antara lingkungan keluarga dengan prestasi belajar. Penelitian lain di Indonesia juga telah membuktikan hal yang sama.
Partisipasi yang tinggi tersebut nampaknya belum terjadi di negara berkembang (termasuk Indonesia). Hoyneman dan Loxley menyatakan bahwa di negara berkembang sebagian besar keluarga belum dapat diharapkan untuk lebih banyak membantu dan mengarahkan belajar murid, sehingga murid di negara berkembang sedikit waktu yang digunakan dalam belajar. Hal ini disebabkan banyak masyarakat/orang tua murid belum paham makna mendasar dari peran mereka terhadap pendidikan anak. Bahkan Made Pidarta menyatakan di daerah perdesaan yang tingkat status sosial ekonomi yang rendah, mereka hampir tidak menghiraukan lembaga pendidikan dan mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah.
Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana dan prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua murid dan masyarakat mempumyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan  dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauhmana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik (Kumars, 1989). Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini nampaknya memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak-anak di sekolah. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Husen (1988) dalam penelitiannya bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua mereka dalam memberikan dukungan.
Partisipasi yang tinggi tersebut nampaknya belum terjadi di negara berkembang (termasuk Indonesia). Hoyneman dan Loxley menyatakan bahwa di negara berkembang sebagian besar keluarga belum dapat diharapkan untuk lebih banyak membantu dan mengarahkan belajar murid, sehingga murid di negara berkembang sedikit waktu yang digunakan dalam belajar. Hal ini disebabkan banyak masyarakat/orang tua murid belum paham makna mendasar dari peran mereka terhadap pendidikan anak. Bahkan Made Pidarta menyatakan di daerah perdesaan yang tingkat status sosial ekonomi yang rendah, mereka hampir tidak menghiraukan lembaga pendidikan dan mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah.
Definisi hubungan sekolah dengan masyarakat yang lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Suriansyah (2000), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah:
a.    information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat)
b.    persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan terhadap sekolah)
c.    effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah.
Secara lebih lengkap Elsbree dan Mc Nally seperti dikutip oleh Suriansyah (2001) menyatakan bahwa kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk:
a.    to improve the quality of children’s learning and growing.
b.    to rise community goals and improve the quality of community living
c.    to develop understanding, enthusiasm and support for community program of public educations
Sedangkan kegiatan-kegiatan manajemen hubungan sekolah dan masyarakat adalah sebagai berikut.
a.    Analisis kebutuhan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah
b.    Penyusunan program hubungan sekolah dengan masyarakat
c.    Pembagian tugas melaksanakan program hubungan sekolah dengan masya-rakat
d.    Menciptakan hubungan sekolah dengan orang tua siswa
e.    Mendorong orang tua menyediakan lingkungan belajar yang efektif
f.    Mengadakan komunikasi dengan tokoh masyarakat
g.    Mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta
h.    Mengadakan kerjasama dengan organisasi sosial keagamaan
i.    Pemantauan hubungan sekolah dengan masyarakat
j.    Penilaian kinerja hubungan sekolah dengan masyarakat

MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Depdiknas merupakan Direktorat Jenderal yang dibentuk melalui PP No. 8 Tahun 2005. Salah satu direktorat di bawahnya adalah Direktorat Tenaga Kependidikan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi di bidang pembinaan tenaga kependidikan pada pendidikan formal.
Tenaga kependidikan yang menjadi perhatian UU Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005 adalah: Kepala Sekolah, Tenaga Perpustakaan, Tenaga Pengawas Sekolah, Tenaga Laboratorium, dan Tenaga Administrasi Sekolah (TAS). Salah satu upaya meningkatkan kompetensi manajerial kepala sekolah sesuai Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah antara lain adalah melalui bimbingan teknis. Salah satu kompetensi manajerial kepala sekolah adalah  manajerial dalam konteks pendidikan persekolahan, khususnya sekolah dasar.

B.    Kompetensi
Memiliki kompetensi manajerial dalam konteks pendidikan persekolahan, khususnya sekolah dasar.

C.    Indikator Ketercapaian Kompetensi
Pada akhir pendidikan dan pelatihan (Diklat) ini diharapkan peserta:
1.    Mampu mendeskripsikan konsep dasar manajemen sekolah dasar
2.    Mendeskripsikan kegiatan-kegiatan manajemen sekolah dasar
3.    Mendeskripsikan pola-pola baku atau standar aspek-aspek manajemen sekolah dasar

D.    Alokasi Waktu
Alokasi waktu Diklat ini adalah 10 jam pelajaran @ 45 menit

E.    Skenario
Diklat ini diselenggarakan dengan pendekatan andragogi. Keaktifan, kreatif, keefektifan, kebermaknaan, dan suasana yang menyenangkan ditumbuhkembangkan selama proses Diklat berlangsung. Pendekatan andragogi yang akomodatif terhadap pemberian fasilitasi kepada peserta untuk mengungkapkan pengalamannya, mengolah dan menganalisis, menggeneralisasi (menyimpulkan), dan penerapan pengalamannya dari merancang program Diklat ini. Dengan demikian, Diklat ini akan terasa manfaat langsung (transfer of learning) bagi peserta setelah kembali ke sekolahnya masing-masing.

Sumber  : Dikti